Self-regulation untuk Mengatur Kembali Diri Sendiri

Self-regulation untuk Mengatur Kembali Diri Sendiri

Ngomongin tentang new year resolution, MinHup gak muluk-muluk sih sebenernya, cuma pengen jadi versi terbaik dari diri sendiri aja. ‘Terbaik’ tuh maksudnya bisa memilah dan memilih hal yang kita inginkan juga melakukannya dengan bijak. Namun, Sobat Hidup ngeh gak sih, kadang-kadang kita melakukan suatu hal dengan effort 0% dan kegiatan lainnya dengan effort 200% padahal kegiatannya gak terlalu penting? Atau … ada yang salah dengan self-regulation kita?

Self-regulation itu apa, Min?”

Mari kita bahas!

 

Self-regulation? Maksudnya, manajemen diri?

 

Kurang lebih kayak gitu sih. Self-regulation itu istilah untuk proses manusia dalam menentukan tujuan, bertindak untuk mewujudkan tujuan tersebut, dan memantau perkembangannya agar tindakannya tetap sesuai dengan tujuannya. Aspek yang terlibat (diatur dan dituju) dalam konsep ini adalah perilaku, pikiran, dan emosi. Sementara itu, tujuannya itu berupa promotion goals (hal yang diinginkan) dan prevention goals (hal yang kita hindari karena dapat merugikan). Dalam hal ini, kita melakukan adaptasi dengan mengendalikan diri ketika dihadapkan dengan pilihan atau tujuan yang sama-sama penting dan menghambat (menjauhkan) diri dari tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan awal kita. 

 

Contohnya, kita punya tujuan untuk konsisten mengerjakan tugas kuliah pada hari-H penugasan, maka kita merencanakan untuk mengerjakannya di perpustakaan dan melaksanakannya. Jika saat prosesnya kita dihadapkan sakit ataupun ajakan teman untuk nongkrong di waktu kita biasa mengerjakan tugas, kita bisa mempertimbangkan dan memilih tindakan yang tepat untuk menyelesaikan pilihan tersebut. Misalkan, kita memprioritaskan hal yang lebih penting sehingga kita memilih untuk beristirahat setelah minum obat. Kita pun bisa memilih untuk nongkrong karena kita merasa suntuk ataupun diajak nongkrong sambil belajar bersama. Bisa pula kita menolak ajakan nongkrong karena kegiatannya hanya bercuap-cuap saja.

 

Contoh lainnya dari self-regulation adalah berolahraga untuk menjaga kebugaran, membiasakan tersenyum di hadapan umum agar tidak dianggap sombong, menahan diri untuk tidak bertindak menurut pikiran yang impulsif (kayak asal celetuk atau tiba-tiba ngagetin orang yang lagi diem), ataupun merasa puas dengan pencapaian sekarang.

 

Emang self-regulation penting banget, Min?

 

Seperti yang udah disebutin tadi, self-regulation meliputi pengaturan perilaku, pikiran, dan emosi kita. Konsep ini diperluin biar kita bisa beradaptasi (dengan pilihan dan kondisi dari diri sendiri atau lingkungan) sehingga kita bisa hidup menjadi seseorang yang kita inginkan dan warga masyarakat yang selaras dengan norma. 

 

Self-regulation penting banget buat diri sendiri karena berhubungan erat dengan psikologis kita. Orang yang kesulitan mengatur emosinya mengalami gangguan pada psikologisnya seperti gangguan kepribadian antisosial, major depressive disorder, bahkan berperilaku agresif ataupun kriminal. 

Pada aspek pikiran, terlalu sering memikirkan hal yang tidak perlu (bahkan yang tidak pantas) pada waktu yang tidak tepat berhubungan kerusakan otak pada bagian prefrontal cortex

Akan lebih parah lagi jika pikiran tersebut diwujudkan dalam perilakunya. Misal, kita punya goals untuk berhenti mengonsumsi kopi setiap hari. Namun, suatu hari kita melihat teman kantor sedang membawa cup kopi. Jika kita sulit beradaptasi dengan keadaan bahkan kesulitan mengatur pikiran dan emosi kita, maka kita tidak bisa menghambat diri untuk tidak meminum kopi tersebut. Awalnya cuma ‘satu cup aja deh’ atau ‘gapapa lah, cheat day’, lama-lama kebablasan sampai gagal mewujudkan goals itu.

 

Dalam hubungannya dengan menjadi warga masyarakat, pengaturan perilaku berperan penting agar kita tetap bisa mendapatkan hal yang kita inginkan tanpa mengganggu kehidupan orang lain

Sobat Hidup inget kan kalau manusia itu makhluk sosial? Nah, kita berinteraksi dengan orang lain dan menginginkan respon baik dari interaksi itu (misalnya perasaan nyaman; dianggap ada; disayangi; dan lainnya). Untuk mendapatkanya, kita harus mematuhi norma di masyarakat dan beradaptasi dengan respons yang sifatnya personal dari orang-orang. 

Contohnya, kita merasa bersalah ketika melanggar norma masyarakat. Kemudian, kita memperbaiki perilaku kita untuk menjaga hubungan yang ada dan menghindari risiko dikucilkan. Contoh lainnya, kita cuek aja ketika sapaan kita tiba-tiba dibalas sinis oleh orang lain dan memilih untuk berteman dengan orang lain yang lebih menerima kita.

 

Jadi gimana nih, Sobat Hidup?

 

Kalau Sobat Hidup merasa enggak ada perubahan dari upaya yang udah dilakukan, Sobat Hidup bisa menghubungi profesional untuk mendapatkan bantuan. Hidup Media menyediakan layanan Konseling Psikolog pada laman berikut https://www.solusihidup.com/konseling-psikolog/. Sobat Hidup bisa memilih psikolog yang lingkupnya cocok dengan kondisi yang lagi dialami lalu mengklik ‘Jadwalkan Sekarang’.

 

Penulis: Syahira Rahadatul

 

source:

 

Inzlicht M, Werner KM, Briskin JL, Roberts BW. 2021. Integrating Models of Self-Regulation. Annu. Rev. Psychol 72, 319–345

Heatherton TF. 2011. Neuroscience of Self and Self-Regulation. Annu Rev Psychol 62: 363–390. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.121208.131616

Ikuti kami di

Dapatkan informasi terupdate dari kami

Terus terkoneksi dengan HIDUP

Jl. Ganesa No.15, Lb. Siliwangi,
Kecamatan Coblong,
Kota Bandung, Jawa Barat 40132
0821 1820 1573
hidupmediaid@gmail.com