Ketahanan Mental dan Menangis: Salahkah Aku Menangis?

Ketahanan Mental dan Menangis: Salahkah Aku Menangis?

Sering diejek ‘mentalnya lemah’ gara-gara terlalu banyak menangis? Waktunya kenalan dengan Ketahanan Mental yang tepat!

MinHup mau nanya dong. Misalkan Sobat Hidup tuh pengen banget kerja di suatu tempat, tapi ternyata gak lolos seleksi padahal udah banyak hal yang disiapin, Sobat Hidup bakal ngapain? Kalo MinHup sih … nangis. Namun, kenapa MinHup sering denger kalo udah gede tuh jangan nangis mulu? Bahkan gak sedikit juga orang yang ngeledek cengeng lah, mentalnya kena lah. Emangnya mereka gak tau kalo ketahanan mental orang itu beda-beda?

“Ketahanan mental. Nahan apaan, Min?”

“Ooh jadi nangis tuh gak salah kan, Min?”

Hmm banyak juga pertanyaannya. Yuk, kita bahas!

 

Menilik Ketahanan Mental Lebih Dalam

 

MinHup mau jawab pertanyaan pertama dulu, nih. Singkatnya, ketahanan mental (resiliensi) itu proses mengembalikan kondisi diri (adaptasi) setelah mengalami kesulitan (pengalaman buruk, penyakit, musibah, dll). Yang dimaksud ‘tahan’ di sini adalah menahan diri agar tidak terlarut dalam hal-hal negatif. Kalau istilah yang lebih familiarnya sih, comeback stronger.

Setidaknya, Sobat Hidup pernah melalui proses ini sekali dalam hidupnya. Misalkan, waktu dapet nilai di bawah KKM pas UTS Matematika, dighosting recruiter setelah submit CV buat seleksi berkas, ataupun kebanjiran dan harus mengungsi. Oh iya, mari kita berdoa untuk warga di Turki dan Suriah sana yang sedang tertimpa musibah.

Untuk jawab pertanyaan kedua, Sobat Hidup perlu tau kalau tiap orang punya ketahanan mental yang berbeda. Faktornya adalah setiap orang punya latar belakang dan perkembangan yang berbeda sehingga membentuk perbedaan dalam cara memahami kesulitan yang dialaminya. Contoh, A dari kecilnya terbiasa dengan perlakuan yang lembut dan lingkungan yang suportif sehingga A sedih banget kalo dibentak karena melakukan kesalahan. Di sisi lain, si B udah biasa menghadapi kesulitan dari kecil, jadi dia lempeng aja kalo dibentak karena ngerasa udah ‘berpengalaman’ dan ‘terlatih’.

Jadi, gak apa-apa nangis. Sebagai orang yang ada di sekitarnya, kita jangan sentimen sama orang yang nangis. Kita kan gak tau kehidupannya kayak gimana, pun dengan keadaan mental dan emosinya waktu itu gimana.

Namun, jangan dibiasain buat nangis aja ketika diberi cobaan karena bisa jadi adaptasi yang salah. Misalnya, MinHup abis ditegur dosen tuh nangis mulu sampe gak semangat ngapa-ngapain dan sakit. Mengekspresikan emosi kita memang diperbolehkan, tapi kita juga harus evaluasi diri; perbaiki hal-hal yang bikin kita terhindar dari pengalaman buruk itu; dan mencoba lagi mendapatkan keinginan kita.

 

Persepsi tentang Ketahanan Mental

 

First and foremost, udah disebutin tadi bahwa orang yang sering nangis itu mentalnya gak kuat. Menangis bisa jadi adaptasi yang benar dan salah. Benar kalau orang tersebut perlu mengekspresikan apa yang dia rasakan, biar nanti dia bisa ngambil keputusan dengan kepala dingin. Salah kalau orang tersebut terus-menerus nangis tanpa adanya usaha untuk menghadapi kesulitannya.

Ada lagi pertanyaan, nih. “Kita harus diuji dulu biar mental kita kuat, Min?”

Iya sih, kita kalau mau lulus sekolah pun harus ikut ujian dulu. Ujian emang nyeremin sih, karena kita takut enggak mendapatkan hasil yang sesuai ekspektasi. Belum lagi kita harus berjuang dengan sungguh-sugguh buat lewatin ujian (kesulitan) itu, ataupun kalau kita ngerasa capek; stres; dan lainnya. Sisi terangnya, kesulitan itu bikin kita paham cara menanganinya dan terlatih buat jaga-jaga kalau di masa depan ketemu hal serupa.

Namun, jangan maksain buat ‘challenge diri’ dengan menempatkan diri di berbagai situasi sulit biar ‘terlatih’. Khususnya buat adek-adek yang masih sekolah, terlalu sering berada dalam situasi yang penuh tekanan bisa merubah HPA axis otak dalam waktu lama. Ujungnya, bikin kita rentan mengalami gangguan mood dan anxiety.

Selain persepsi enggak boleh nangis dan harus mau ‘mentalnya ditempa’ pake cara apapun, banyak orang nganggep kalo kita harus selalu optimis. Memang sih, optimis dibutuhin biar kita termotivasi untuk gak larut dalam kesedihan. Namun, jangan sampai kita keseringan nyari sisi positif dari musibah yang menimpa kita, nanti kita kesusahan sendiri.

“Kok gitu, Min?”

Masa MinHup mau ikhlas gitu aja pas dicopet di angkot karena mikir pencopetnya juga perlu uang? Tentunya, MinHup harus berusaha balikin dompet yang isinya kartu-kartu penting itu dan laporin ke pihak berwenang buat nyegah pencopetan selanjutnya.

Singkatnya sih, kita harus memperhatikan dan mengembangkan keluwesan, cara memahami dan menyikapi kesulitan, serta mengelola emosi. Jangan sampai kita melakukan resiliensi yang salah dan nambah kesulitan yang baru.

 

To Wrap It Up

 

Punya ketahanan mental yang kuat emang kedengeran impossible. Namun, hal ini perlu kita kembangkan dengan baik sebab orang yang lemah resiliensinya rentan mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi, stres, dan anxiety. Cara yang bisa dilakukan sih rajin merawat jiwa dan raga kita. Merawat jiwa dengan melakukan aktivitas keagamaan, mengakui emosi negatif yang sedang kita alami, dan mendapatkan dukungan dari sekitar. Kalau untuk raga, caranya adalah dengan beraktivitas fisik dan makan makanan yang bernutrisi.

Namun, kalau Sobat Hidup merasa perlu bantuan profesional, Sobat Hidup bisa menggunakan layanan Konseling Psikolog yang disediakan Hidup Media pada laman berikut https://www.solusihidup.com/konseling-psikolog/. Sobat Hidup bisa memilih psikolog yang lingkupnya cocok dengan kondisi yang lagi dialami lalu mengklik ‘Jadwalkan Sekarang’.

 

Penulis: Syahira Rahadatul

 

source:

 

Herrman H, Stewart DE, Diaz-Granados N, Berger EL; Jackson B, Yuen T. 2011. What Is Resilience? Canadian journal of psychiatry. Revue canadienne de psychiatrie, 56(5), 258–265. https://doi.org/10.1177/070674371105600504

Ruengorn C, Awiphan R, Phosuya C, Ruanta Y, Wongpakaran N, Wongpakaran T, Thavorn K, Nochaiwong S. 2022. Psychological Resilience and Adverse Mental Health Issues in the Thai Population during the Coronavirus Disease 2019 Pandemic. International Journal of Environmental Research and Public Health, , 19(13023), 1-14. https://doi.org/10.3390/ijerph192013023

Vella SL & Pai NB. 2019 A theoretical review of psychological resilience: Defining resilience and resilience research over the decades. Archives of Medicine and Health Sciences, 7, 233-239.

Ikuti kami di

Dapatkan informasi terupdate dari kami

Terus terkoneksi dengan HIDUP

Jl. Ganesa No.15, Lb. Siliwangi,
Kecamatan Coblong,
Kota Bandung, Jawa Barat 40132
0821 1820 1573
hidupmediaid@gmail.com