Emosi dan Emosian Sama Gak sih?

Emosi dan Emosian Sama Gak sih?

“Gak usah emosi kayak gitu dong, kita nanya baik-baik!”

Pernah enggak sih Sobat Hidup bilang atau dikatain orang lain semacam itu? MinHup pernah liat di drama sih.

Tadi MinHup abis baca-baca, ternyata kalimat tersebut enggak sepenuhnya bener lho! Soalnya, manusia punya sistem yang bisa membentuk emosi itu dengan faktor-faktor lainnya alias enggak bisa kita enggak emosi.

Kita boleh emosian setiap saat dong, Min? Hmm kayaknya harus dilurusin dulu deh.

Yuk, simak!

 

Emosi? Apaan tuh?

 

Berdasarkan Don Hockenbury dan Sandra E. Hockenbury dalam buku Discovering Psychology, emosi adalah keadaan psikologis yang kompleks yang melibatkan pengalaman subjektif, respons fisiologis, dan respons perilaku atau ekspresif. Dengan kata lain, emosi itu reaksi manusia ketika menanggapi peristiwa yang disebabkan faktor-faktor tertentu dan melalui rangkaian tahap.

Nah, emosi dibagi dua, ada emosi dasar dan emosi kompleks. Menurut psikolog Paul Ekman, emosi dasar adalah emosi yang bisa diketahui dari ekspresi wajah, seperti takut, jijik, marah, terkejut, bahagia, dan sedih. Jadi, yang dimaksud ‘jangan emosi’ dari dialog tadi adalah ‘jangan marah’ atau ‘jangan ngasih ekspresi marah’.

Sementara itu, psikolog Robert Plutchik mengelompokkan emosi dasar menjadi bahagia dan sedih, marah dan takut, percaya dan jijik, serta terkejut dan waspada. Pengelompokan ini dikenal sebagai roda emosi sehingga model tersebut bisa menggambarkan bahwa emosi tersebut dapat digabungkan menjadi emosi yang kompleks. Oleh karena itu, emosi kompleks lebih sulit diketahui dari ekspresi wajah. Contoh emosi kompleks adalah cemburu, cinta, khawatir, dan bersyukur.

 

Ada proses terbentuknya gak?

 

Ada, guys. Proses terbentuknya emosi melibatkan 3 key element of emotion, yakni subjective experience, psychological response, dan behavioral response

 

  1. Subjective experience (pengalaman subjektif)

Saat kita lahir, kita enggak tahu apapun tentang hal-hal di dunia ini. Kemudian, kita mendapat pengetahuan lewat hal-hal yang kita lihat ataupun alami, baik sering atau jarang maupun biasa saja atau berdampak hebat. Otak kita jadi mampu memikirkan (memprediksi) reaksi yang akan kita berikan ketika menghadapi sebuah kejadian, berdasarkan pengetahuan (pengalaman) kita itu. Sebagai contoh, dulunya seseorang diajari rapi oleh orang tuanya sehingga sekarang dia marah banget kalau lihat meja yang berantakan.

  1. Psychological response (respons fisiologis)

Respons fisiologis adalah reaksi/respons organ-organ tubuh yang diatur oleh sistem saraf otonom ketika seseorang mengalami emosi. Sistem saraf otonom adalah sistem yang mengontrol kegiatan tubuh yang terjadi tanpa kita sadari alias terjadi gitu aja meskipun ‘enggak kita suruh’. Contoh kegiatan tubuh tersebut adalah aliran darah dan sistem pencernaan. Agak ngeri ya kalau kita ngomong “duh bisa gak darahnya lewat tangan aku nanti aja?” atau “bentar ges kerongkongan aku belum gerak peristaltik nih padahal makanannya udah ditelen”.

Di sisi lain, respons tersebut bisa berupa tangan yang berkeringat waktu ngobrol sama crush (cieee). Enggak usah malu, guys. Respons tubuh kayak gini adalah wajar karena kita sulit menahan keringat itu buat enggak keluar (sebab keringat diatur sama sistem saraf otonom lewat hormon). Dengan demikian, hubungan saraf otonom sama emosi adalah ketika tubuh kita mendapat rangsangan (mengalami kejadian tertentu), tubuh kita bakal ngerespon dulu kejadian tersebut sebelum kita bertindak (perilaku) atas kejadian yang kita alami ini.

  1. Behavioral response (respons perilaku)

Respons perilaku adalah perwujudan dari emosi dalam bentuk perilaku dan bergantung pada norma yang berlaku dan kepribadian orang tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan, emosi dipengaruhi oleh pengalaman yang disusun oleh banyak faktor (dalam hal ini adalah norma yang berlaku) sehingga setiap orang bisa memiliki respons perilaku yang berbeda. Contohnya, Sobat Hidup dan temen lagi jalan di koridor sekolah terus tiba-tiba ada bau menyengat. Sobat Hidup mungkin merasa mual dan auto nutup hidung karena bau tersebut diproses otak sebagai bau yang tidak enak dan bikin kita jadi inget benda-benda yang menjijikan. Sementara itu, temen Sobat Hidup bisa saja hanya mengernyitkan dahi karena baunya mirip sama bau makanan yang pernah ia makan.

 

Jadi … emosi, perasaan, dan mood itu sama dong?

 

Beda, Sobat Hidup.

Pendek kata, emosi adalah cara seseorang untuk menghadapi situasi dan cara tersebut terbentuk oleh pengalaman, reaksi tubuh, dan perilaku. Emosi biasanya terjadi sebentar, intens, dan cenderung memiliki penyebab yang pasti dan dapat diidentifikasi. Misalnya, kita terkejut ketika mendengar dosen bilang hari ini kuis.

Di sisi lain, perasaan adalah pemahaman kita terhadap sebuah situasi dan terjadi secara sadar. Setelah kita mengalami emosi, kita memproses emosi tersebut secara kognitif (cara berpikir) dan menyatukan hasil proses tersebut dengan cara berpikir kita yang lain. Oleh karena itu, perasaan dapat dipengaruhi ingatan, kepercayaan, persepsi, dan faktor lainnya sehingga setiap orang punya perasaan yang berbeda untuk emosi yang sama. Contohnya, ada orang yang bahagia dengan nilai 80 karena biasanya ia mendapat nilai rendah tetapi ada juga orang yang kecewa karena menganggap kerja kerasnya tidak membuahkan hasil.

Sementara itu, mood adalah kombinasi dari emosi dan perasaan (keadaan fisik, kimiawi, dan mental). Mood dapat berlangsung sebentar ataupun lama, intensitasnya rendah (tidak sering), serta tidak diketahui jelas penyebab terjadinya. Sebagai contoh, merasa sedih selama beberapa hari tanpa alasan yang jelas dan tidak bisa diidentifikasi.

 

Jadi, emosi perlu dikelola gak?

 

Perlu. Baik ngeluarin emosi ataupun mendem emosi secara berlebihan itu bisa mengganggu orang lain dan bikin kita capek sendiri karena bisa mempertaruhkan kesehatan kita. Perintah saraf otonom bagi tubuh untuk berkegiatan (respons fisiologis) jadi terganggu karena hormon start emosi yang dihasilkan jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah hormon stop emosi. Akibatnya, kegiatan organ-organ tubuh terganggu dan tubuh perlu ‘mengurus’ hormon yang kelebihan itu. Di sisi lain, kita malah ngeluarin emosi dengan cara yang salah. Misalkan, MinHup sedih karena tidak kunjung mendapat nilai yang bagus. Awalnya MinHup mendem doang, tapi lama-lama MinHup malah nonjok tembok biar ngerasa lega.

Untuk menghindari hal tersebut, dibutuhkan pengaturan emosi yang benar atau self-regulation. Self-regulation adalah kemampuan untuk mengalami pikiran, perasaan, dan emosi serta memilih respons yang akan dilakukan yang positif bagi diri sendiri dan orang lain. Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk membantu self-regulation.

  • Bernapas dalam-dalam

Ketika kita merasa kewalahan atau sulit mengontrol emosi, kita kesusahan untuk berpikir jernih. Berdasarkan Zaccaro et al. (2018), pada kondisi ini, kita bisa menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebab menarik napas dalam-dalam mengaktifkan sistem saraf parasimpatik untuk merelaksasi dan menyeimbangkan bahan-bahan kimia di dalam tubuh.

  • Sensory grounding

Singkatnya, sensory grounding membantu kelima indera kita untuk teralihkan fokusnya agar kita tetap tenang ketika emosi sedang meluap dengan tidak wajar. Sensory grounding dilakukan dengan aktivitas yang melibatkan kelima indera seperti bernyanyi, meditasi, yoga, dan lain-lain. Untuk muslim, sensory grounding dapat dilakukan dengan dengan berwudhu. 

  • “Gapapa…”

Ada beberapa emosi yang kita anggap negatif, seperti marah atau sedih, sehingga kita merasa bersalah (bahkan menyalahkan diri sendiri) ketika kita mengalaminya dan memendamnya. Seperti yang disebutkan tadi, mendem emosi itu enggak baik untuk kesehatan.

Daripada nge-judge diri sendiri kayak ‘idih apaan sih lu cengeng banget’ mending kita ajak bicara diri sendiri dan konfirmasi emosi kita seperti ‘gapapa, wajar kok sedih. nangis aja gapapa’. Kalaupun enggak diomongin langsung ke diri sendiri, bisa juga kita tulis apa yang kita rasain atau rekam diri kita lagi ngomong sendiri alias curhat dengan diri sendiri terus dengerin lagi buat dapet clue untuk menyelesaikan masalah yang sedang kita alami.

 

Oh iya!

 

Kalau Sobat Hidup merasa butuh tempat lain buat mengeluarkan emosi tersebut, Sobat Hidup bisa curhat ke orang terdekat. Namun, jika Sobat Hidup perlu curhat dengan orang yang paham psikologi, maka Sobat Hidup dapat memilih layanan Curhat Call yang disediakan Hidup Media pada laman berikut https://www.solusihidup.com/curchat-call/. Sobat Hidup bisa memilih konselor yang cocok lalu mengklik ‘Jadwalkan Sekarang’.

Semangat, Sobat Hidup!

 

Penulis: Syahira Rahadatul

 

Source: 

Anonymous. (2019). The Science Of Emotion: Exploring The Basics Of Emotional Psychology. https://online.uwa.edu/news/emotional-psychology. Diakses pada 18 November 2022 pukul 12:00 WIB

Chapman L. (2016). The 3 Ingredients of All Emotions. https://www.psychologytoday.com/us/blog/evidence-based/201612/the-3-ingredients-all-emotions. Diakses pada 18 November 2022 pukul 23:07 WIB

Johnson J. (2022). 6 Ways to Manage Your Emotions and Improve Your Mood. https://psychcentral.com/health/ways-to-manage-your-emotions. Diakses pada 18 November 2022 pukul 11:39 WIB

McInnes J. Emotions, Feelings, and Moods: What’s the difference?. https://www.innowell.org/library/articles/emotions-feelings-and-moods/. Diakses pada 18 November 2022 pukul 22:24 WIB

Zaccaro A. Piarulli A. Laurino M. Garbella E. Menicucci D. Neri B. and Gemignani A. (2018). How Breath-Control Can Change Your Life: A Systematic Review on Psycho-Physiological Correlates of Slow Breathing. Frontiers in Human Neuroscience. 12:353. doi: 10.3389/fnhum.2018.00353

Ikuti kami di

Dapatkan informasi terupdate dari kami

Terus terkoneksi dengan HIDUP

Jl. Ganesa No.15, Lb. Siliwangi,
Kecamatan Coblong,
Kota Bandung, Jawa Barat 40132
0821 1820 1573
hidupmediaid@gmail.com